Ajang pameran seni yang selalu dinanti tiap tahunnya, yaitu Biennale Jogja kembali hadir dengan tajuk Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Dibuka pada tanggal 6 Oktober 2021, pameran ini tak hanya menghadirkan perupa lokal, namun juga penggiat seni mancanegara. Dikuratori oleh Ayos Purwoaji dan Elia Nurvista, beragam instalasi memukau pengunjung yang dapat mendatangi pameran secara offline.

Dari puluhan karya serta program acara menarik yang ditampilkan, simak 3 karya perupa berikut ini yang menghadirkan karya yang spesial selama pameran berlangsung.


Rumah dan Kenangan yang Hidup Kembali

Bongkahan batu dan kerikil menyangga lima batang tebu yang disusun di tengahnya, berdiri menjulang setinggi pandangan mata. Beralaskan kain katun dan untaian karung gula bertuliskan “Sugars of Fiji, Cane Sugar”, ditemani suara bercengkerama dari pengeras suara yang memenuhi seisi ruangan.

“Saya mengingat 87 kapal berlayar di perairan hitam
60.965 tubuh berpindah lewat kala pani, arus kelam,
Merangkul tanah dengan tubuh mereka, mere porvaj (leluhur saya),
Hanya 60.553 sampai di Viti.
Saya mengingat mereka yang gugur,
Mereka yang tidak mencapai kehidupan lebih baik yang penuh janji palsu.”




Begitulah tulis Shivanjani Lal di depan ruang pamer sebagai penuturan cerita untuk berbagi sejarah dan membuat kenangan atas momen yang hilang lewat instalasi karya seninya. Ia memberi judul karyanya dengan “5 Prayers For 5 Generation” (2021).

Seniman pameran utama Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 ini, menggugah daya dengar dan kemampuan mengingat untuk mengambil jeda bagi momen-momen intim ketika mengingat kehidupan yang dijalani oleh keluarganya. Seniman Fiji-India-Australia ini, menjelajahi pengalamannya sebagai diaspora dari keluarga yang bermigrasi dua kali, yang digerakkan oleh ekonomi dan komoditas gula.


Rumah yang Berhias Memori

Memori-memori seperti ini akan selalu tercipta di kehidupan setiap manusia. Bagaimana jika kenangan perjalanan bersama ayah, dongeng yang diceritakan simbah, dan pelukan hangat dari kakak, menjelma jadi jantung sebuah rumah kecil? Jantung berwujud dekorasi rumah yang dapat mengisi celah dalam diri. Kehadirannya begitu hangat, seperti benar-benar ada di dalam dunia yang seutuhnya milik kita. Jantung itu berdegup memendarkan harapan, meraih mimpi, dan menggapai angan yang selama ini terasa begitu asing. Rumah itu jadi hidup, bersamaan dengan bangkitnya nostalgia yang selama ini mengendap dalam hati. Bayangan akan rumah yang begitu puitis ini, dapat menjadi nyata lewat dekorasi dengan cita rasa yang pas. Inspirasi yang berakar dari perjalanan keluarga, tempat tinggal, dan pemahaman kearifan lokal, akan menembus batas antara yang diingat dan yang dilupakan.




Kenangan dan pemahaman itu perlu sentuhan agar senantiasa menghidupi sebuah rumah. Rumit bukan satu-satunya jalan. Lukisan, instalasi, dan karya seni hanyalah pilihan. Dekorasi macam ini dapat diperoleh melalui cara-cara yang jauh dari kata rumit. Berawal dari keakraban dengan kenangan, merangkulnya sembari bertumbuh bersama rumah dan seisinya. Misalnya saja, memajang gambar-gambar buah hati ketika berumur tiga tahun sebelum akhirnya anak itu jadi seniman betulan. Resep masakan rumah milik ibunya ibu yang dibingkai dan dipajang di dapur, menemani keluarga dalam cinta yang selalu hadir di sajian meja makan. Pajangan kolase foto perjalanan hidup ayahnya ayah ketika mengadu nasib di negeri antah berantah, bisa jadi penggerak hati bagi sepupu-sepupu untuk terus melanjutkan perjuangan. Kenangan memang tidak kasat mata, tetapi bukan berarti ia mati dan entah di mana.

Kenangan itu lantas menjadi teras pengetahuan, yang hanya diingat oleh mereka yang mengingat. Istilahnya, pengetahuan tempatan—lokal. Dekorasi rumah yang berangkat dari sini dapat menjadi pusat rumah kecil yang sarat makna. Seniman Timor Leste-Australia, Maria Madeira, memajang sepuluh karya pada bingkai di dinding, menggunakan media campuran pada tekstil dan teknik pewarnaan di bawah sinar matahari pada kain tradisional Timor—Tais. Dominasi warna merah mencolok, terinspirasi dari material tanah merah dan pinang yang berasal dari tempat lahir Maria. Selain itu, ia juga menggunakan media campuran pada kanvas dan kertas. Teknik rajutan juga diterapkan pada pajangan itu. Irisan kerajinan tangan dengan seni kontemporer ini, menurutnya, berada di antara masa lalu dan masa sekarang.

Pola dan teknik yang hadir pada karya Maria ini, dapat diaplikasikan pada berbagai jenis dekorasi dalam rumah. Sebut saja, karpet. Karpet dapat menjadi aksen penting pada ruangan. Pola-pola karpet yang, misalnya saja, mengandung corak-corak khas dari berbagai daerah di Nusantara, dapat menyempurnakan ruangan modern dan minimalis yang banyak ditemui di perkampungan urban di kota-kota besar di Indonesia. Karpet terdengar sepele, tetapi sangat berpengaruh sebagai perekat antar ornamen dalam sebuah ruangan. Goresan pada corak- corak tradisional, membawa kenangan hidup kembali. Kenangan dan pengetahuan kesukuan dengan kehangatan yang selalu ada di dalamnya.




Bermain dengan Cahaya

Kenangan dan ingatan akan tempat tinggal, serta kearifan lokal, juga muncul dalam lukisan botani. Nepenthes hamata, tumbuhan karnivora endemik dataran tinggi Sulawesi, menjadi karakter utama Eunike Nugroho dalam karya lukisan cat airnya, “Pelahap” (2021). Di atas kertas dengan ukuran 113x210 cm ini, lukisan ini memberikan kesan sosok pemangsa yang menakutkan. Taring-taring tajam yang mengait ke bawah, tubuh berwarna gelap, bercak merah, dan pola berwarna ungu tampak gagah dalam ruangan putih bersih itu.




Berbekal memori dan pengetahuan lokal, pencahayaan juga dapat diajak bermain sebagai dekorasi ruangan. Tidak melulu soal warna, tapi: keredupan, arah, dan kehangatan cahaya, dapat memberikan nuansa yang berbeda bagi setiap ruangan. Cahaya matahari pagi dari arah timur dan lampu kuning hangat pada malam hari, misalnya, menerangi dapur terbuka yang bersebelahan dengan taman yang dirawat selalu dirawat ayah dan ibu. Romantis dan puitis sekali. Dekorasi rumah yang menjelma dari kenangan perjalanan, ingatan tempat tinggal, dan kearifan lokal, dapat menjadi ilham bagi setiap orang yang ingin menyentuh kembali akarnya. Orang-orang yang belum tercerabut dari tanahnya dan yang enggan melupakan harapan sanak saudaranya.




Sumber Foto: Yayasan Biennale Yogyakarta