Gerakan Amsterdam School terjadi di Negeri Kincir Angin di paruh awal abad keduapuluh. Dipelopori oleh arsitek tiga sekawan asal Belanda, Joan van der Mey, Michel de Klerk dan Piet Kramer.  Pengaruh budaya Indonesia dapat dilihat pada produk desain furniture-nya. Bahkan gaya Art Deco di kota-kota besar di Indonesia banyak dipengaruhi oleh gerakan ini.

Pencapaian idealisme gerakan ini dirintis melalui pembangunan sejumlah gedung perumahan rakyat Het Schip yang pada saat itu bertujuan meningkatkan kualitas hidup pekerja dan gedung pelayaran Scheepvaarthuis. Gerakan ini masih dapat dilihat sekarang dalam arsitektur, interior dan desain produk perabotannya.  Gerakan ini berawal dari pemikiran dan idealisme pengadaan perumahan rakyat yang selain fungsional,  juga merupakan suatu bentuk seni.

ARSITEKTUR
    Karakteristik gaya arsitektur Amsterdam School yang meluas antara tahun 1910 dan 1920 dikenali dengan bentuk gedung yang menghindari sudut2 tajam sehingga terlihat seperti gelombang, pemakaian batu bata yang ekstensif dan kreatif serta dekorasi facades dan detail cast iron. Puncak ledakan energi, kretivitas, bentuk baru dan bahan inovatif movement yang sebenarnya kurang dikenal ini terjadi pada saat peresmian bergengsi rumah pelayaran Scheepvaarthuis (1916) yang sekarang menjadi Grand Hotel Amrath.
    Pada berbagai jembatan di Amsterdam terlihat beragam patung bergaya Amsterdam School dengan bentuk organik. Dobrakan berbagai batasan menciptakan patung yang kadang sulit untuk diberi definisi. Hildebrand Lucien (Hildo) Krop, pematung dan desainer furnitur utama gerakan Amsterdam School membuat patung untuk bangunan umum dan jembatan yang tak terhitung jumlahnya di Amsterdam.

OBJEK INTERIOR
    Manifestasi movement ini tidak hanya ditemukan pada arsitektur tetapi juga pada objek interior seperti lampu, jam, kaca, doorknobs, tekstil dan furnitur. Berbeda dengan objek dekoratif dan interior art deco yang eklektik, Amsterdam School terlihat bold dan organik. Mayoritas furnitur kayu terlihat berat dan masif tetapi bentuk dan komposisinya terlihat seimbang dan berkarakter kuat Amsterdam School. Gerakan ini juga sangat mempengaruhi desain grafis pada waktu itu.
    Selama beberapa tahun Ingeborg de Roode, kurator Stedelijk Museum dan Marjan Groot, dosen Desain dan Budaya Domestik Universitas Leiden memimpin suatu studi besar inventaris komprehensif pertama dari desain furnitur dari Amsterdam School. Hasil penelitian dirangkum pada pameran bertajuk Living in the Amsterdam School Design for the interior 1910-1930 di Stedelijk Museum (9 April-28 Agustus). Sketsa desain lounge chair karya arsitek Indonesia Liem Bwan Tjie (Semarang 1891- Rijswijk 1966) terlihat di antara 500 objek yang dipamerkan. Karya Liem Bwan Tjie di Indonesia di antaranya adalah Villa Han Tiauw Tjong di Semarang dan kantor pusat sang raja gula, Oei Tiong Ham.

INTERIOR
    Interior bergaya Amsterdam School menggunakan banyak kayu di antaranya dari Indonesia. Detail cast iron terlihat dominan di Amrath Hotel sedangkan stained glass terlihat di interior Hotel The Grand maupun Amrath Hotel. Sesuai dengan fungsinya sebagai perumahan buruh, interior Het Schip sangat sederhana.
    Pengaruh budaya Indonesia banyak terlihat pada ukiran kayu, teknik dan motif batik diatas kulit dan stained glass. Hotel The Grand Awalnya gedung ini adalah dua biara abad pertengahan. Seiring dengan jalannya waktu gedung ini telah digunakan untuk berbagai fungsi, dari kediaman anggota kerajaan, Admiralty of Amsterdam, balaikota Amsterdam dan sejak 1992 sampai sekarang menjadi hotel berbintang lima, Hotel The Grand. Ekspansi sayap balaikota didesain oleh arsitek Nicolaas Lansdorp dan Allard Remco Hulshoff dengan gaya Amsterdam School (1923). The Marriage Chamber dengan murals karya Chris Lebeau dan the Council Chamber karya Mendes da Costa, John Raedecker dan Hildo Krop merupakan contoh movement Amsterdam School yang mencolok. Di ruang-ruang inilah perkawinan catatan sipil (pada waktu itu tahun 1966) Putri Beatrix, mantan Ratu Belanda diselenggarakan.


Foto: Liny Agustini