Yoka Sara adalah sosok seniman dan arsitek modern asal Bali yang telah berbagi pengalaman kreatifnya ke dunia internasional, seperti Prancis, Malaysia, Tiongkok, dll. Ia telah memenangkan penghargaan BCI Asia & Schott Design Award atas karyanya, The Sungai Villas & Spa di Prerenan, Bali pada tahun 2006.




Sempat menggambil kelas di perguruan tinggi pada tahun 1987, namun ia memutuskan untuk mencatat sejarah sendiri secara mandiri lewat biro arsitek Yoka Sara International.

Yoka Sara pernah merenovasi Banjar Gerenceng yang tak hanya memperbaiki satu bangunan, namun memberikan nyawa pada lingkungan sekitar.





Bersama dengan CASA Indonesia, seorang Anak Agung Yoka Sara berbagi cerita tentang pandangannya akan manusia, seni, arsitektur, semesta, dan tradisi. Ia merespon bagaimana alam dan psikologi manusia itu berbicara dengan harmonis, sehingga tidak heran karya yang dirintisnya sejak tahun 1988 selalu personal, berbeda, dan spektakuler.




Proyek-proyeknya memberikan kosa kata baru untuk dunia arsitektur. Ia memecahkan belenggu teknik arsitektur yang kaku menjadi seni pertunjukan yang mengalir dan ekspresif.


Dari hal terkecil yang ia temui sehari-hari bisa dijadikannya inspirasi berkarya. Misalnya, dari sekumpulan tusuk gigi dan helaian daun disusunnya menjadi maket miniatur untuk Diamond Beach Hotel.





Yoka Sara selalu membuat rancangannya terasa hidup dan berenergi. Selain sebagai arsiteknya terkemuka, ia juga terkenal sebagai seniman yang sering menggalang acara seni seperti Sprites Art and Creative Biennale.


Karena karakternya yang selalu haus akan mencoba hal baru, segala medium seni telah Yoka Sara coba dan direalisasikan secara masif. Yoka Sara terlahir dari keluarga seniman dan besar di lingkungan seni dan arsitektur Bali kasta tinggi.




"Saya tidak berkesempatan untuk bertemu secara fisik dengan beliau ataupun kakek saya. Namun saya percaya mereka selalu ada, berkomunikasi dan membimbing saya, hingga pemahaman etos ini tertanam kuat di dalam diri saya, membentuk visi pada sebuah pencarian terus menerus.

Karya yang diwariskan oleh tiga generasi di atas saya adalah Seni Ukir, Seni Patung dan Arsitektur."







Karya Anda seperti berkomunikasi dengan semesta. Bagaimana Anda menyampaikan pola pikir tersebut terhadap klien?

"Pikiran, rasa dan keinginan dari klien dan alam yang berbeda satu sama lain, harus mampu saya baca dan tangkap. Selanjutnya akan menjadi energi pemicu awal dalam berkarya.

Dalam menangkap jiwa dari sebuah lokasi yang dimiliki klien, saya membacanya dari setiap momen ‘Sandhyakala’ atau detik-detik perubahan waktu dari gelap ke terang.




Di sini, kita dapat merasakan bagaimana semesta itu hadir dan kehadirannya yang harus diserap untuk menjadi pengayaan ruang mikro yang akan kita bangun. Secara psikologis saya selalu berusaha menjadi klien itu sendiri.

Dengan demikian saya dapat melihat dari ‘dalam’ diri mereka, kemudian memecahkan masalah-masalah secara logis dan intuitif.




Apakah betul Taksu dan Tri Hita Kirana terlibat dalam proses desain Anda?

Secara bersama-sama akan terlahirlah gagasan-gagasan pada satu level lebih tinggi dari apa yang mereka bisa bayangkan. Sebenarnya setiap manusia memiliki Taksu dan keseimbangan psikologis di dalam diri mereka yang merupakan wujud mikro dari Tri Hita Karana. Begitu juga dengan alam.



Maka saat saya berkomunikasi dengan klien dan melihat lokasi, terjadilah sebuah jalinan konstelasi positif. Setiap keputusan harus melibatkan pertimbangan hati, rasa atau jiwa."



Foto oleh Yoka Sara International, CASA Indonesia